Sunday, November 8, 2020

Hukum Reseller Tanpa Modal

Jual-Beli Sistem Dropship dan Reseller Jual-Beli Online telah menjadi primadona sistem jual- beli di tengah perkembangan teknologi internet dewasa ini. Sistem jual-beli reseller, yaitu sistem jual beli yang dilakukan dengan jalan menjual kembali barang yang dikulak pedagang dari pedagang stok. Sebelum membahas tentang hukum reseller dalam Islam, mari Kita telaah dulu apa kelebihan menggunakan sistem reseller sebagai metode penjualan, antara lain:

1.   Tidak butuh modal yang banyak karena Anda tidak perlu membeli peralatan, menyiapkan tempat dan membayar karyawan untuk melakukan kegiatan produksi.

2.  Produk dari brand supplier sudah lebih dulu dikenal dan dipercaya masyarakat sehingga lebih mudah melakukan pemasaran untuk menarik perhatian konsumen.

3.    Bisa mengatur kebutuhan stok produk dilihat dari pilihan konsumen lebih condong ke produk yang mana, sehingga produk tidak mengendap lama.

hukum reseller tanpa modal

Pada sistem dropship, barang yang ditawarkan belum menjadi milik makelar, dan belum mendapat izin pedagang aslinya, tapi dia sudah menawarkan barang. Jual-beli sistem dropship model makelaran disepakati mayoritas ulama sebagai haram, kecuali Mazhab Hanafi yang masih membolehkan, asalkan ia mengetahui ciri-ciri umum dari barang. Pastikan juga foto produk yang Anda pajang di online shop benar-benar hasil foto dari produk yang Anda jual. Untuk jual-beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun ghaibah, yaitu jual-beli barang yang belum ada di tempat. Proses jual-beli dalam Hukum Islam harus ada akad yang menyatakan ada keinginan pembeli untuk membeli produk yang ditawarkan. Pangkal hukum yang memperlemah status kebolehan dropshipping adalah masalah izin yang belum didapatkan dropshipper dari supplier.

Kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang. Selaku orang yang diberi izin menjualkan barang, maka dropshipping sistem masuk kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual-beli barang yang belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan diperbolehkan sebab pemberian kuasa. Kalangan ulama Mazhab Syafi’i ada yang memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:

“Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240).

Namun kebolehan ini disertai dengan syarat mutlak yaitu apabila contoh barang tersebut pernah disaksikan pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah modelnya, sebagaimana pendapat ini tercermin dari pernyataan berikut ini:

“Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Lihat: Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).

Adapun akad jual-beli untuk dropshipping adalah akad salam, yaitu jual-beli dengan sistem pemesanan.

No comments:

Post a Comment